TRANSFORMASINUSA.COM | Cawe-cawe yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2024 ini dinilai telah mencoreng wajah demokrasi Indonesia yang selama ini mendapat pujian dunia.
Karena berbagai lembaga dunia terus menyoroti ketidaknetralan kepala negara tersebut, termasuk terakhir diangkat di dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau CCPR di Jenewa, Swiss, pada Selasa, 12 Maret 2024.
“Yang bikin mencoreng itu kan bukan (karena) diangkat oleh diplomat. Tetapi oleh apa yang dilakukan para elite politik (Indonesia). Jadi kalau tidak mau tercoreng, ya jangan melakukan tindakan-tindakan lacur dalam proses politik seperti pemilu,” jelas dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional, Dr. Robi Nurhadi, kepada KBA News Jumat, 15 Maret 2024.
Lebih jauh dia menjelaskan di zaman sekarang tidak bisa sebuah negara hanya sekadar mencitrakan diri sebagai sebuah demokrasi kalau tidak sesuai dengan kenyataan. Karena kini merupakan era keterbukaan sehingga semua orang akan mengetahui. Apalagi pelaksanaan pemilu yang mendapat sorotan dunia.
“Zaman sekarang itu tidak bisa memoles diri sesuatu yang kemudian tidak tidak pas. Poleslah diri dengan sesuatu yang benar. Jadi kalau dia mengusung keadilan, maka tanpa dipoles pun dia akan memoles dirinya sebagai sesuatu yang bagus. Jadi susah bersembunyi di era keterbukaan sekarang, apalagi sebuah proses politik seperti yang terjadi pada pemilu sekarang,” sambungnya.
Karena itu, dengan diangkat di Sidang Komite HAM PBB, lanjutnya, menunjukkan ada persoalan serius dalam proses pemilu di Indonesia. Karena kalau tidak ada persoalan, tidak mungkin mendapat perhatian bahkan dipertanyakan secara serius dalam sebuah sidang dunia yang bergengsi.
“Dan sangat wajar kalau persoalan itu muncul. Karena ada namanya political right atau hak politik. Karena hak asasi tidak hanya berurusan untuk hal yang umumnya domain manusia, tapi yang terpenting juga adalah hak politik. Ada hak politik yang tercederai sehingga memunculkan komen yang serius,” tandas doktor dari Pusat Studi Sejarah, Politik dan Strategi Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.
Sebelumnya, anggota Komite HAM PBB Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Jokowi dan pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 dalam Sidang Komite HAM PBB CCPR di Jenewa, Swiss, Selasa kemarin.
Sidang tersebut dihadiri perwakilan negara anggota CCPR termasuk Indonesia. Pembahasan seputar isu HAM terbaru di sejumlah negara dibahas di forum itu dengan sesi tanya jawab antara masing-masing anggota komite HAM PBB kepada perwakilan negara yang dibahas.
Bacre Waly Ndiaye sendiri, yang merupakan anggota Komite HAM PBB dari Senegal, melontarkan sejumlah pertanyaan terkait jaminan hak politik untuk warga negara Indonesia dalam Pemilu 2024.
Dia memulai pertanyaan dengan menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perubahan syarat usia capres-cawapres yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden.
“Kampanye digelar setelah putusan di menit akhir yang mengubah syarat pencalonan, memperbolehkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan,” kata Ndiaye dalam sidang yang ditayangkan di situs UN Web TV, Selasa.
“Apa langkah-langkah diterapkan untuk memastikan pejabat-pejabat negara, termasuk presiden, tidak bisa memberi pengaruh berlebihan terhadap pemilu?” katanya mempertanyakan.
Tak berhenti di situ, Ndiaye juga bertanya apakah Pemerintah sudah menyelidiki dugaan-dugaan intervensi pemilu tersebut.
Perwakilan Indonesia yang dipimpin Dirjen Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat tidak menjawab pertanyaan itu. Saat sesi menjawab, delegasi Indonesia justru menjawab pertanyaan-pertanyaan lain.
Beberapa isu yang dijawab Indonesia tentang dugaan pengerahan militer ke Papua, kebebasan beragama, kasus Panji Gumilang, hingga kasus Haris-Fathia. Delegasi Indonesia juga menjawab soal hak politik orang asli Papua yang ditanyakan Ndiaye bersamaan dengan kasus pencalonan Gibran.
0 Komentar