Oleh: Capt.H.Moh.Anton Hermawan Eka Putra S.E.,M.M.,CHRA.,CLMA.
TRANSFORMASINUSA.COM | Beberapa hari terakhir ini pemberitaan diramaikan oleh kejadian tertidurnya Pilot salah satu Perusahaan swasta nasional di tanah air.
Sebenarnya insiden ini bukanlah yang pertama kali terjadi di dalam dunia penerbangan.
Ada beberapa insiden pilot tertidur selama penerbangan di seluruh dunia. Satu insiden penting terjadi pada tahun 2008, ketika dua pilot di Go! airlines sebuah maskapai penerbangan di Hawaii melampaui tujuan mereka sejauh 15 mil setelah tertidur di kokpit. Tahun 2013 - Seorang pilot dalam penerbangan British Airways dari London ke Mauritius tertidur selama lebih dari satu jam.
Dalam insiden lain pada tahun 2018, seorang pilot Jet Airways di India diduga tertidur di kokpit, menyebabkan pesawat turun dengan cepat dan memicu peringatan tekanan kabin. Co-pilot mampu membangunkan pilot dan mendaratkan pesawat dengan aman.
Insiden ini menyoroti pentingnya istirahat yang tepat dan manajemen kelelahan bagi pilot, serta perlunya sistem dan prosedur pemantauan yang efektif untuk memastikan keselamatan penumpang dan awak. Maskapai penerbangan sejak itu menerapkan peraturan dan pedoman yang lebih ketat untuk mencegah insiden seperti itu terjadi di masa depan.
Sebelum penulis lebih lanjut akan mengupas lebih dalam perihal hal tersebut, tulisan ini tetap bersifat dan mengacu kepada asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocent) dan semua kesimpulan yang terkait di dalam insiden tersebut tetap akan berdasar kepada pemangku kepentingan yang berlaku di setiap negara, KNKT dalam hal ini selaku pihak yang memiliki otoritas di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini juga lebih mengambil sudut pandang “Human Factor Performance”
Mengenal apa itu “fatigue”, adalah sebuah keadaan fisiologis berkurangnya kemampuan kinerja mental atau fisik akibat kurang tidur, tubuh terjaga dalam keadaan yang lama dan panjang, fase sirkadian, dan / atau beban kerja (mental dan / atau aktivitas fisik) yang dapat mengganggu serta menurunkan level kewaspadaan seseorang, dan kemampuan untuk melakukan tugas operasional terkait keselamatan.
Mitigasi terhadap hal tersebut diatas sebenarnya telah diberlakukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) sebuah organisasi internasional yang bertanggung jawab untuk mengatur dan mengawasi penerbangan sipil di seluruh dunia. Organisasi ini didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1944 dan bermarkas di Montreal, Kanada. ICAO memiliki tujuan untuk memastikan keselamatan, keamanan, efisiensi, dan keberlanjutan penerbangan sipil internasional. Organisasi ini juga menetapkan standar dan praktik terbaik dalam bidang penerbangan sipil, serta memberikan bantuan teknis kepada negara-negara anggota dalam mengembangkan infrastruktur penerbangan mereka.
Salah satunya adalah dengan menerapkan apa yang disebut FRMS.
Kita semua tahu bahwa tuntutan operasional dalam penerbangan terus berubah sebagai respons terhadap perubahan teknologi dan tekanan komersial,
Tetapi fisiologi manusia tetap tidak berubah. Baik peraturan manajemen kelelahan preskriptif dan FRMS.
FRMS dapat digunakan untuk mewakili kesempatan di dalam menggunakan kemajuan dalam pemahaman ilmiah fisiologi manusia untuk mengatasi risiko kelelahan dalam penerbangan dengan lebih baik
ICAO mensyaratkan bahwa peraturan harus ditetapkan, berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah untuk tujuan mengelola kelelahan.
Prinsip-prinsip dasar ini berhubungan dengan: 1) kebutuhan untuk tidur; 2) kurang tidur dan pemulihan; 3) efek sirkadian pada tidur dan performa; dan 4) pengaruh beban kerja, dan dapat diringkas sebagai:
1. Periode bangun harus dibatasi. Tidur yang cukup (baik kuantitas maupun kualitas) secara teratur adalah penting untuk memulihkan otak dan tubuh.
2. Mengurangi jumlah atau kualitas tidur, bahkan untuk satu malam, menurunkan kemampuan berfungsi otak dan motorik dan meningkatkan kantuk keesokan harinya.
3. Jam tubuh sirkadian mempengaruhi waktu dan kualitas tidur dan menghasilkan pasang surut harian di dalam kinerja dan respon tubuh pada berbagai tugas.
4. Beban kerja dapat berkontribusi pada tingkat kelelahan individu. Beban kerja yang rendah dapat membuka kedok kantuk fisiologis , sementara beban kerja yang tinggi dapat melebihi kapasitas individu yang lelah. (psychological overload)
Pada akhirnya seluruh elemen dan variabel di dalam proses FRMS tidak akan dapat berjalan apabila tidak ada niat baik dari seluruh pemangku kepentingan (Perusahaan,Individu,Regulator)
Semoga dari seluruh kejadian insiden yang telah terjadi,dapat dijadikan sebuah kesempatan untuk berbenah diri dan Bersama-sama membangun budaya keselamatan yang baik serta tertata secara sistematis di Republik kita tercinta ini.
Bukan lagi saatnya kita untuk saling mencari kambing hitam dan saling melempar tanggung jawab,kalau tidak sekarang kapan lagi? Atau kita akan semakin tertinggal dengan bangsa lain yang terus berlomba untuk meningkatkan “Nation Value” mereka.
Jadi maju Bersama dan saling bergandengan tangan adalah sebuah keniscayaan yang wajib dilakukan.
Catatan Redaksi:
Penulis adalah praktisi & akademisi di dunia penerbangan,Sumber Daya Manusia dan Hukum
0 Komentar